Printed
Perceraian di Bawah Tangan. Peminggiran Hak-Hak Perempuan
Keterbatasan tersedianya lapangan pekerjaan disertai kebutuhan hidup yang semakin membumbung tinggi menjadi pemicu utama orang memilih untuk mencari pekerjaan di luar negeri sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI), tak terkecuali bagi kaum perempuan yan gmenyandang status sebagai "istri". Mereka berangkat ke luar negeri dengan status sebagai buruh migran. Secara ekonomis, kepergian Buruh Migran Perempuan (BMP) tersebut telah berhasil meningkatkan kesejahteraan keluarga dan mendatangkan deisa yang cukup tinggi bagi negara, sekalipun harus meninggalkan suami, anak, keluarga, dan kampung halamannya. Atas prestasi BMP tersebut, amat sangat wajar kalau disebut sebagai pahlawan bagi negara dan keluarganya. Namun, kepergian BMP yang menyandang status sebagai istri dengan relatif waktu yang lama, tidak semuanya menuai kebahagiaan dan kesenangan, tetapi banyak yang mengalami perlakuan yang tak sewajarnya dalam berbagai bentuk kekerasan, baik ditempat kerja maupun rumah. Misalnya, penyiksaan, pemerkosaan, perceraian, bahkan kematian. Hal ini terjadi, karena selain masih lemahnya pemahaman terhadap posisi gender, juga karena kepergian istri untuk mencari nafkah di luar rumah cenderung melahirkankonflik besar dalam keluarga, dibandingkan dengan kepergian suami, yang dikonstruksikan secara budaya. Salah satu konflik yang mengemuka adalah "perceraian" jika tidak dapat ditangani dengan baik.
Dengan demikian, kehadiran buku ini mengurai secara gamblang fenomena berbeda yang dialami oleh kaum Buruh Migran Perempuan (BMP) berdasarkan kondisi riil di lapangan. Di mana BMP memberi pemaknaan baru terhadap "perceraian", yang sekaligus meunjukkan adanya pergeseran makna "cerai" dibandingkan dengan bukan BMP. Pergeseran makna tersebut sangat terkait dengan peningkatan status sosial-ekonomi BMP dan peningkatan posisi tawar perempuan terhadap suami, serta pemaknaan yang berbeda terhadap perkawinan. Kehidupan dalam perkawinan jika dirasakan tidak lagi dapat memberi kebagahiaan, mka BMP lebih mudah memutuskan untuk bercerai. Tetapi pergeseran makna cerai tersebut pun dipahami oleh masyarakat sebagai akibat negatif yang ditimbulkan dari BMP tersebut, karena ketidakpatuhan dan ketidakpedulian istri terhadap suaminya. Streotipe ini muncul, karena hanya menempatkan kaum perempuan sebagai pelaku domestik dalam rumah tangga semata, akibat konstruksi budaya sosial, dan agama yang dipahami secara sempit dan keliru.
Tidak tersedia versi lain