Printed
Modernisasi Pesantren
Pandangan gender dalam Islam sejak jaman nabi Muhammad sudah ada. Dan gender di pesantren dilihat dari ajaran-ajaran pada kitab-kitab yang dipelajari sudah merupakan suatu pengangkatan terhadap gender perempuan. Posisi perempuan berusaha untuk tidak termarjinalisasikan baik itu perempuan dalam forum di sekolah, di dalam keluarga, di masyarakat atau bahkan perempuan dalam politik sekalipun. Seperti halnya aktivitas yang dilakukan di pesantren AI-Hikmah, untuk dilihat dari peran dan fungsi antara santri laki-laki dan santri perempuan, selalu perempuan yang menonjol dalam kegiatannya, baik itu dalam kegiatan formal di sekolah MI sampai MA maupun kegiatan di pondok pesantren Salafiyah.
Dengan demikian pesantren secara umum sudah menerapkan isu-isu demokrasi dan kesetaraan gender. Tercermin dalam pelaksanaan aktivitas baik yang dilakukan oleh kyai, nyai, ustadz, dan santrinya. Sebagai kepala sekolah baik perempuan ataupun laki-laki, dalam memutuskan segala sesuatu dan kebijakannya berdasarkan musyawarah.
Proses demokrasi di pesantren sudah berjalan dan memang itu yang diterapkan dalam prinsip demokrasi sejak dahulu kala di pesantren. Apalagi masalah-masalah peran gender baik laki-laki ataupun perempuan. Misalnya, dalam kepengurusan, dalam melakukan kegiatan, santri laki-laki maupun santri perempuan berperan sesuai dengan tanggung jawabnya.
Sebetulnya untuk mengelaborasi gender dalam peranannya secara umum, tetap berpijak pada bagaimana pola pikir dan paradigma laki-laki serta hegemoni kaum laki-laki terhadap gender. Apalagi sebagai suami isteri yang harus seimbang sejalan searah dalam hidup berumah tangga. Jika isteri ditekankan harus melakukan peran-peran tersebut, laki-laki pun harus mengatasi dan mengayominya apa yang dilakukan si isteri terhadap suami.
Adat budaya Lampung hampir sama dengan konsep Islam dalam masalah peran-peran yang berkaitan dengan gender. Pada adat yang disebut metodau (isteri diambil suami) isteri tidak bebas.
Tidak tersedia versi lain