Printed
Perempuan Dalam Sistem Perkawinan dan Perceraian Di Berbagai Komunitas dan Adat
Karena kebebasan yang lebih luas diberikan kepada Sayyid untuk menikah dengan perempuan non-Syarifah, banyak keluhan muncul terutama berasal dari para Syarifah yang tidak memiliki kemungkinan untuk memilih pasangan mereka sendiri dari kelompok sosial lainnya. Banyak Syarifah yang terpaksa memilih antara dua hal yang sama-sama kurang mengenakkan: menjadi perawan tua (taulolo bangko) karena tidak semua Sayyid yang tersedia mau menikah dengan Syarifah, atau mengabaikan tradisi Kafa'ah dengan menikahi lelaki non-Sayyid, dengan resiko dikucilkan dari ikatan keluarga untuk selama-lamanya.
Perbedaan perlakuan yang diperoleh bagi Syarifah menyangkut pada masalah konsep kesopanan atau kepantasan (modesty). Menurut informan Sayyid penulis, modesty ditujukan kepada unsur feminitas, dan Siri' (harga diri, martabat) biasanya dikaitkan dengan maskulinitas. Tetapi, melalui jalur modesty, seorang syarifah dapat meraih atau bahkan meningkatkan martabat dan harga dirinya (Siri'). Pada prakteknya, Syarifah harus mempertahankan Siri' keluarganya dengan secara ketat tanpa tawar menawar mempraktekkan sistem Kafa'ah. Melalui sistem Kafa'ah, seorang Syarifah dapat mempertahankan status sosial mereka, hubungan darah mereka dengan keluarga nabi Muhammad, dan pada saat yang sama dapat meningkatkan kualitas kepribadiannya.
Darah adalah penanda asal-usul dan yang demikian sangat penting bagi identitas masyarakat Sayyid dan perbedaan mereka dengan yang non Sayyid (misalnya: orang Jawi dan Makasar lainnya), yang dianggap sebagai kurang kadar kebangsawanannya. Bagi syarifah, kawin dengan Sayyid berarti mempertahankan hubungan darah suci mereka dengan keluarga Nabi Muhammad, sebaliknya kawin dengan lelaki non-Sayyid mencemari darah mereka, yang akhirnya kesucian mereka pun ternodai.
Kadar keaslian kebangsawanan dipercaya menentukan kualitas moral dan kepribadian. Jadi dengan mempunyai hubungan silsilah dengan Nabi Muhammad, seseorang harus mempraktekkan yang terhormat, karena kehormatan selalu berhubungan dengan kebangsawanan. Jika seseorang gagal memperlihatkan sikap hidup yang terhormat, maka kegagalan tersebut mencemari kualitas moral dan kepribadiannya. Hubungan silsilah dengan Nabi Muhammad ini dipergunakan oleh kalangan Sayyid untuk memformulasikan kehidupan sosialnya dan membuat perbandingan dan evaluasi antara prilaku mereka dengan orang lain.
Dalam tradisi mereka, kalangan Sayyid telah melakukan akulturasi dengan beberapa pranata sosial dan adat istiadat Makassar, seperti sistem penamaan Makassar (gelar Karaeng dan Daeng), konsep Siri' (harga diri atau martabat). Namun satu hal yang masih melekat dalam kehidupan sosial masyarakat Sayyid adalah dalam hal sistem perkawinan. Walaupun mereka sudah mengadopsi tata cara perkawinan suku Makassar, seperti aksesoris, kesenian, pakaian adat, dan masalah mahar, tetapi sistem Kafa'ah tetap mewarnai bahkan mendominasi keseluruhan sistem perkawinan mereka.
Tidak tersedia versi lain